Minggu, 02 Mei 2010

Perkembangan Mini Market Waralaba

Indofood Group merupakan perusahaan pertama yang menjadi pionir lahirnya mini market di Indonesia pada tahun 1988. Kemudian Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Di susul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfamart. Dalam hitungan tahun, mini market telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri.Bisnis mini market melalui jejaring waralaba alias franchise berkembang biak sampai pelosok kota kecamatan kecil. Tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Khususnya mini market dengan brand Indomaret dan Alfamart. Siapa yang tidak kenal Indomaret? Dan siapa yang tidak kenal Alfamart? Anak kecil pun kalau beli permen pasti “nunjuknya” minta ke Indomaret atau ke Alfamart. Kedua merk ini dimiliki oleh group perusahaan raksasa yaitu Indomaret milik PT. Indomarco Prismatama (Indofood Group) dan Alfamart milik perusahaan patungan antara Alfa Group dan PT. HM Sampoerna, Tbk.

Indomaret ternyata berkembang tidak hanya dengan jejaring waralaba yang mencapai 785 gerai, tetapi gerai milik sendiri seabreg jumlahnya mencapai 1072 gerai(lihat grafik perkembangan toko yang diambil dari www.indomaret.co.id ). Sedangkan Alfamart berdasarkan penelusuran penulis di www.alfamartku.com memiliki 1400 gerai, tidak diperoleh data mengenai jumlah yang dimiliki sendiri dan yang dimiliki terwaralaba.
Bila kita hitung rata-rata nilai investasi minimal untuk mendirikan mini market waralaba sekitar Rp. 300 juta saja (diluar bangunan). Dikalikan dengan 1.072 gerai yang dimiliki sendiri. Berapa ratus milyar PT. Indomarco Prismatama mengeluarkan dana untuk investasi di bisnis mini market? Indofood Group juga ternyata tidak saja pemilik merk Indomaret, tetapi juga mendirikan mini market Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari sabang sampai merauke.
Persaingan Tidak Seimbang
Pasti kita maklum bersama, betapa sengitnya persaingan di bisnis ritel khususnya Indomaret dan Alfamart sebagai market leader mini market. Dengan mengutip kalimat dalam artikel Sektor Ritel Makin Menggiurkan pada Swa Sembada No.01/XX/6-8 Januari 2005 (sumber.www.indomaret.co.id ) bahwa”Yang mungkin sangat sengit persaingannya adalah dalam hal perebutan lokasi. Pastinya setiap pemain memperebutkan lokasi-lokasi yang dinilai strategis. Apalagi di bisnis ini lokasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Perebutan lokasi strategis ini, bisa juga berpengaruh terhadap harga property. Bisa saja harga ruko jadi naik karena tingginya demand terhadap mini market.”
Jadi betapa agresifnya indomaret dan alfamart dalam memperebutkan lokasi yang dinilai strategis. Bahkan hampir di setiap komplek perumahan/pemukiman pasti akan berdiri salah satu mini market waralaba tersebut dan atau keduanya. Sudah tidak mungkin pedagang eceran tradisional akan mampu mencari lokasi strategis lagi untuk saat ini dan di masa mendatang. Jika kita bandingkan dari modal saja, pedagang eceran sudah sulit bergerak.
Selain itu supermarket, toserba, dan bahkan kini ada pasar raksasa bernama hypermarket bermunculan. Baik hypermarket lokal maupun hypermarket dari luar sana. Sekedar ilustrasi mari kita berhitung sejenak, berapa banyak jumlah pasar raksasa tersebut mulai dari jalan Thamrin, Cikokol sampai BSD City di serpong, Tangerang. Di Kota Modern (Modernland) ada Hypermart , lalu hanya sekitar berjarak 1 km berdiri megah Carefour. Berikutnya di Serpong Town Square, kebon nanas berdiri Giant Hypermarket. Kemudian di World Trade Centre (WTC) Matahari, Serpong berdiri kembali Hypermart. Di samping pintu gerbang perumahan Villa Melati Mas, ada lagi Giant Hypermarket. Dan di International Trade Centre (ITC) BSD City ada Carefour. Semua itu jaraknya antara pasar raksasa yang satu dengan pasar raksasa yang lain hanya sekitar 1 km. Luarrr biasa.!
Apalagi jika kita melihat perang harga promosi mini market atau legih gila lagi hypermarket raksasa. Dengan spanduk atau baliho besar bertuliskan nama barang dan harganya yang fantastis rendah. ! Entah banting harga atau memang harga beli mereka yang teramat rendah bila di bandingkan dengan harga beli pedagang eceran kecil bergerai warung atau toko tradisional. Memang tidak semua barang berharga murah, tetapi membanting harga sedemikian rendahnya di bawah harga pasar, membuat miris para pedagang eceran kecil. Masih untung Cuma perang harga!
Dengan tidak bermaksud menggugat cara-cara promosi yang dilakukan oleh para pengelola pasar raksasa tersebut. Penulis hanya ingin mengajak kepada para pengelola pasar raksasa untuk membayangkan sejenak. Bagaimana perasaan pedagang warung dan toko tradisional, ketika ada konsumen bilang “di hypermarket aja harganya sekian???”. Kita tidak menyalahkan konsumen yang punya pemikiran demikian, membandingkan harga di hypermarket dengan di warung atau toko tradisionl. Juga tidak bisa menyalahkan hypermarket dengan promosi harga yang gila-gilaan. Mungkin ini salah satu fenomena globalisasi.
Posisi Pasar Pengecer Tradisional

Melihat dari sisi manapun, posisi pedagang tradisional semakin terjepit. Menjerit. Dan merintih tergilas persaingan bisnis yang tidak seimbang. Bisakah kita membayangkan? Posisi pedagang tradisional yang modalnya hanya semangat berwirausaha dengan sedikit uang puluhan juta. Bersaing dengan mini market waralaba yang modalnya ratusan juta plus jaringan distribusi barang yang sangat baik, didukung system operasional prosedur dan kecanggihan tekhnologi. Ternyata cukup ampuh untuk mematahkan tulang punggung keluarga pedagang eceran tradisonal.
Sekedar urun rembug, perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja tidak mungkin berubah. Konsumen lebih memilih gerai modern untuk berbelanja. Selain konsumen mendapatkan kenyamanan berbelanja, pelayanan yang prima, juga harga barang terkesan murah. Oleh karena itu maka jalan keluar bagi pedagang eceran tradisional adalah merubah gerai menjadi gerai modern mini market mandiri (sendiri), yang bisa dibangun dengan modal di bawah Rp.100 juta. Kemudian berkolaborasi antar mini market mandiri dalam pengadaan barang dagangan. Selanjutnya bla…bla…atur strategi bersaing untuk menghadapi persaingan bisnis ritel agar berkeseimbangan.
Sekali lagi, tidak bermaksud menggugat pola pengembangan usaha dengan jejaring waralaba. Analisa penulis, waralaba sangat baik untuk proses pembelajaran, pemerataan usaha, dan meminimalisir monopoli. Tetapi apa yang terjadi, ternyata gerai mini market lebih banyak dimiliki perusahaan sendiri. Seharusnya perusahaan yang sudah dikembangkan dengan system waralaba tidak perlu lagi mengembangkan sayapnya dengan memiliki gerai sendiri. Tetapi kemudian peraturan perundang-undangannya tidak ada yang melarang untuk hal itu. Semua perusahaan bebas menggurita walaupun pedagang eceran tradisional mati berdiri. Hidup enggan mati tak mau. Mati tak mau tapi sulit bertahan hidup.

1 komentar: